Pelajar Aceh Tidak Kalah Pintar Dengan Pelajar AS
Pelajar
Aceh Tidak Kalah Pintar Dengan Pelajar AS
Penulis: Silmi
Ahya, Siswi SMAN 2 Modal Bangsa Aceh Besar mengikuti program Pertukaran
Pelajar Bina Antarbudaya/AFS
Email : silmiahya@yahoo.com
dimuat di Harian Aceh
Salam
dari Amerika. Kurang lebih sudah 5 bulan saya berada di negeri Paman Sam ini
menjalani hari-hari sebagai seorang pelajar pertukaran mewakili Indonesia
khususnya Aceh melalui program Bina Antarbudaya atau American Field Service (AFS)
yang setiap tahunnya dibuka pendaftaran pada bulan Maret. Disini saya tinggal
dengan keluarga angkat (hostfamily). Saya juga bersekolah di Hickory High
School, sekolah terdekat dengan rumah saya menetap. Selama berada disini begitu
banyak pengalaman yang saya dapatkan. Kultur AS yang sangat berbeda dengan
daerah asal saya memberikan tantangan tersendiri bagi saya pribadi. Dari mulai
lingkungan keluarga hingga sekolah. Misalnya saja pada hari-hari pertama
sekolah saya sempat tersesat beberapa kali karena ruang kelas yang
berpindah-pindah ditambah gedung sekolah yang lumayan besar dengan jumlah murid
sekitar seribuan. Sangat jauh berbeda dengan sekolah saya di Modal Bangsa
dimana hanya ada sekitar tiga ratusan murid dengan kelas menetap. Jadilah
murid-murid di hallway tempat saya bertanya. Sebetulnya asyik juga karena
dengan begitu sekaligus mendapat kenalan baru. Terkadang saya masih tetap
melakukannya walaupun sebenarnya saya sudah tahu letak kelasnya, hanya untuk
mendapat kenalan :).
Di
sekolah saya, setiap semester akan ada 4 mata pelajaran yang harus diambil.
Siswa bebas memilih pelajaran yang diminati tetapi tetap harus mengikuti
beberapa persyaratan. Misalnya, siswa tetap harus mengambil pelajaran Bahasa
Inggris atau Matematika sebagai persyaratan kelulusan. Selebihnya siswa
dibebaskan memilih pelajaran yang diminati seperti Seni, Olahraga, Kelas
Memasak, dll. Kelasnya pun berganti setiap semester. Jadi selama satu tahun
pelajaran total ada 8 kelas. Menurut saya pribadi sekolah di Amerika jauh lebih
mudah daripada di Indonesia. Jika di sekolah saya dulu harus bergadang
mati-matian setiap musim ujian, sekarang saya bisa tidur pulas dan tetap
mendapat nilai bagus. Alhamdulillah pada pembagian rapor semester baru-baru ini
saya mendapat semua nilai A (93 ke atas). Jangan keburu menganggap saya pintar
karena pelajaran yang diajarkan memang relatif lebih mudah daripada standar
kurikulum di Indonesia. Misalnya saja sekarang saya mengambil kelas Aljabar II
yang sebagian besar sudah saya pelajari bahkan dari sekolah menengah.
Masalah
berbahasa Alhamdulillah tidak terlalu banyak kendala. Pada masa-masa awal
sekolah saya memang lebih banyak diam untuk mengamati cara mereka
berkomunikasi. Saya mendapati bahwa remaja Amerika dalam komunikasi sehari-hari
tidak terlalu mementingkan grammar (tata bahasa). Dalam menulis pun masih
banyak yang tidak tahu ejaan. Dari situlah kepercayaan diri saya semakin
meningat dan saya mencoba untuk aktif di kelas. Alhamdulillah berhasil.
Guru-guru dan teman-teman pun banyak yang mengenal saya. Mereka bahkan
mengambil kesimpulan bahwa anak Indonesia pintar-pintar. Saya bangga sekali
bisa memberikan kesan demikian. Tetapi mirisnya saya banyak di antara anak Aceh
yang masih terlalu membesar-besarkan dunia barat akibat kemajuan mereka di
bidang teknologi dan sebagainya. Menurut saya itu pemikiran yang kurang sehat
karena akibatnya kita bisa menjadi minder. Padahal saya yakin bawalah 5 saja
anak Aceh yang benar-benar mempunyai tekad kuat untuk belajar disini, merekalah
yang akan memimpin di kelas.
Jika
ingin mencoba membandingkan sistem belajar AS dengan Aceh, saya belum dapat
mengatakan mana yang lebih baik. Menurut saya keduanya mempunyai kelebihan dan
kekurangan tersendiri. Contohnya, di AS tidak ada pilihan pelajaran Geografi.
Kontan sebagai anak dari seorang ibu yang berprofesi sebagai guru Geografi,
saya sempat terkejut. Tidak heran ketika saya mempresentasikan tentang
Indonesia, mereka banyak yang tidak tahu. Bukan karena Indonesia yang tidak
terkenal, tapi mereka yang memang tidak pernah diajarkan. Jangankan dunia, 50
negara bagian AS saja banyak dari remaja AS yang masih tidak tahu. Oleh karena
itu saya berani mengambil kesimpulan bahwa wawasan anak Aceh tentang dunia
masih lebih luas dibanding remaja AS. Bagaimana tidak, dari SMP sampai SMA kita
masih harus tetap belajar Geografi. Satu hal yang saya sukai dari sistem
belajar di AS adalah pelajaran yang tidak terlalu banyak membuat siswa lebih
terfokus dengan masa depannya. Tidak seperti di Indonesia, dimana siswa
dijejali oleh belasan pelajaran yang untuk kedepannya belum tentu digunakan
atau bahkan sudah terlupakan duluan karena sangking banyaknya. Bukankah ilmu
yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak ada buahnya? Jika takut
ketinggalan wawasan, masih banyak media lain seperti buku-buku dan internet
yang bisa dimanfaatkan. Sekaligus untuk meningkatkan minat baca. Dari
pengalaman pribadi, saya lebih tertarik untuk membaca buku-buku non-pelajaran
dibanding buku pelajaran sekolah walaupun isinya lebih kurang sama. Saya tidak
menyarankan untuk memangkas jumlah pelajaran secara drastis hingga hanya
tinggal 4 pelajaran per semester layaknya di AS. Alangkah idealnya jika
pemerintah bisa lebih menimbang dan memilih mana pelajaran yang betul-betul
harus dipelajari sekaligus memberikan kebebasan sedikit bagi siswa untuk
memilih pelajaran yang dimintati
sehingga memudahkan mereka agar lebih terfokus.
Dari
segi bonding (ikatan) antara guru dan murid saya juga melihat perbedaan disini.
Jika di Indonesia cenderung adanya hierarki yang lebih besar antara guru dan
murid yang membuat murid segan terhadap gurunya, lain halnya dengan disini.
Guru benar-benar seperti teman bagi murid-muridnya. Lagi-lagi ada positif dan
negatifnya masing-masing. Positifnya, murid jadi lebih berani bertanya jika tidak
mengerti, dan guru pun tidak segan-segan mendatangi muridnya satu persatu demi
membuat mereka mengerti pelajaran sepenuhnya. Negatifnya, murid-murid cenderung
kehilangan respect (hormat) terhadap gurunya. Ada baiknya jika kita mengambil
positifnya disini. Saya rasa ikatan yang kuat antara guru dan murid memang
diperlukan sehingga murid-murid bisa lebih leluasa dan terbuka menyampaikan
keluhannya jika ada yang tidak dimengerti. Tetapi masih dalam batasan-batasan.
Saya rasa pelajar Aceh dengan nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi lebih
tahu bagaimana cara memuliakan guru sebagai orang tua kedua yang harus
dihormati.
Sekian cerita dari saya. Semoga bermanfaat. Salam.
Sekian cerita dari saya. Semoga bermanfaat. Salam.
Komentar
Posting Komentar